Electronic Resource
Tempo Edisi Khusus : Soeharto
Jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar. Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, setelah jenazahnya dikebumikan di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ. Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggungpanggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini. Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?
DigiLib_000471 | 959.8037 ANO t | PerSmekisa (DigiLib_SMEKISA) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain